daripada sanjungan merdu dari para penjilat yang berlebihan”- (Thales)
Dunia mahasiswa memang selalu menjadi topik yang gayeng
(sangat menarik) untuk diperbincangkan. Apalagi jika menyangkut
tipologi atau karakteristik, tentu seperti tak ada habisnya. Lebih dari
itu tak bisa dipungkiri bahwa berbagai institusi formal tingkat
perguruan tinggi bisa dikatakan sudah mengalami perkembangan yang cukup
signifikan, khususnya dalam bidang akademis. Baik lembaga yang berlabel
agama ataupun yang umum. Akan tetapi meski demikian bukan berarti visi
dan misi dari masing-masing institusi tersebut sudah tercapai secara
komprehensif. Sebab sepengamatan penulis perkembanganya masih tercapai
dalam satu aspek saja, yakni akademisi itu tadi. Padahal secara
substansial tidaklah cukup bila kaum intelektual hanya cakap dalam hal
tersebut. Tujuan awal dan prioritasnya memang terkait citra akademisi,
namun apakah cukup bila kita benturkan dengan konteks saat ini.
Di
era globalisasi seperti dewasa ini mau tak mau kita dituntut mengikuti
arus perkembangan, yang tentunya haruslah didukung oleh adanya
kapabilitas diri. Oleh karena itu selain disebut kaum intelektual muda,
mahasiswa juga sering dikatakan dengan istilah civitas akademika, yang
intinya memiliki daya nalar kritis, logis dan sistematis. Dan diantara
ketiga itu yang paling mencolok mengalami dekadensi adalah nalar kritis.
Nalar-nalar kritis seakan telah pudar dan tercorak samar. Bahkan
kepekaaan atas sebuah sesuatu yang timpang pun nyaris tak tersentuh.
Dan sekarang ini nampaknya hal demikian itu tak lagi disadari.
Dengan tumbangnya nalar-nalar kritis mengakibatkan jiwa sosialnya lemah
dan terlemahkan. Kebanyakan menjadi cenderung apatis terhadap sesuatu
yang ada di sekitarnya. Bahkan lebih ironisnya lagi, lunturnya
kekritisan itu juga dibarengi dengan kelogisan. Dengan lain kata, tak
jarang apa yang diungkapkanya jauh dari definisi logis. Serta yang
nampak jelas hanyalah sebuah bentuk reifikasi (pemberhalaan) terhadap
sebuah peraturan yang mengikat. Karena pada dasarnya peraturan dibuat
memang untuk mengikat atau membatasi, tinggal sebatas apa pengikatan
atau pembatasan tersebut. Sehingga segala sesuatunya selalu dilakukan
secara sistematis tanpa diimbangi dengan kritis dan logis. Lebih dari
itu, ketika ada sebuah sistem yang berat sebelah pun di-iyakan begitu
saja. Namun dilain pihak sebuah sistem diterapkan bisa saja bertujuan
untuk stimulus agar timbul sebuah reaksi atau bahkan aksi.
Semisal,
beberapa saat yang lalu saat Ujian Akhir Semester (UAS) Genap di kampus
STKIP Trenggalek telah diberlakukan peraturan baru,
yakni semua mahasiswa wajib mengenakan almamater selama ujian
berlangsung. Dan dengan alasan apapun bagi mereka yang tidak mau
mengenakan, tidak diizinkn masuk kelas dan mengikuti ujian. Jika kita
peka, “kebijakan” semacam itu bisa saja sengaja dibuat untuk melihat
sejauh mana tingkat kekritisan dan tindakan mahasiswa saat ini, ketika
ada sebuah sistem yang membelenggunya. Namun kenyataanya, hanya
segelintir orang saja yang berani mengkritisi atau bahkan menentang.
Kebanyakan hanya meng-iyakan begitu saja tanpa mempertanyakan terlebih
dahulu alasanya. Sehingga yang terlihat adalah penyeragaman terhadap
keberagaman.
Ini hanya secarik contoh, masih banyak yang lainya, baik dalam
lingkup birokrasi kampus maupun sampai lingkup Negara sekalipun. Tinggal
pertanyaanya, mau dan siap atau tidak kita mencari itu semua. Jika
boleh saya mengibaratkan, realita-realita di atas layaknya metode
dialektikanya Hegel. Kemajuan dalam ranah akademisi adalah tesisnya
sedangkan punahnya kekritisan adalah antitesisnya. Nah, yang belum ada
tinggal sintesisnya. Singkatnya, setelah ada persoalan semacam itu
tindakan seperti apa yang kita lakukan. Apakah kita akan tetap
membiarkan dan menjamurkanya ? Atau merekonstruksinya ? Keputusanya
tentu tergantung pada masing-masing pribadi, jika dia masih merasa
mengemban tanggung jawab besar sebagai kaum intelektual muda pastinya ia
akan melakukan sebuah gebrakan, yang dapat dimulai dari dirinya
sendiri. Sehingga tradisi kritis, imajinatif serta solutif dapat kembali
membumi di tengah kebuntuan gerakan mahasiswa saat ini. Sebab kaum
intelektual muda sedang terlena oleh sejuknya “angin sepoi” yang
mengakibatkanya tertidur pulas. Dan sekaranglah waktunya untuk digedor
agar segera bangun dan bangkit dari mimpi-mimpi “indahnya”. Caranya
adalah dengan memupuk kembali apa yang telah menjadi ciri khas kita,
agar tidak tergerus, binasa atau bahkan menjadi sejarah belaka.
Oleh: Liris Larasati (the soul who is trying to be mean)
Oleh: Liris Larasati (the soul who is trying to be mean)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar