Kamis, 11 Oktober 2012

Menyuarakan Apa yang Sepatutnya Disuarakan

“Orang yang bercita-cita tinggiadalah yang menganggap teguran keras baginya adalah lembut
daripada sanjungan merdu dari para penjilat yang berlebihan”- (Thales)

Dunia mahasiswa memang selalu menjadi topik yang gayeng (sangat menarik) untuk diperbincangkan. Apalagi jika menyangkut tipologi atau karakteristik, tentu seperti tak ada habisnya. Lebih dari itu tak bisa dipungkiri bahwa berbagai institusi formal tingkat perguruan tinggi bisa dikatakan sudah mengalami perkembangan yang cukup signifikan, khususnya dalam bidang akademis. Baik lembaga yang berlabel agama ataupun yang umum. Akan tetapi meski demikian bukan berarti visi dan misi dari masing-masing institusi tersebut sudah tercapai secara komprehensif. Sebab sepengamatan penulis perkembanganya masih tercapai dalam satu aspek saja, yakni akademisi itu tadi. Padahal secara substansial tidaklah cukup bila kaum intelektual hanya cakap dalam hal tersebut. Tujuan awal dan prioritasnya memang terkait citra akademisi, namun apakah cukup bila kita benturkan dengan konteks saat ini.
Di era globalisasi seperti dewasa ini mau tak mau kita dituntut mengikuti arus perkembangan, yang tentunya haruslah didukung oleh adanya kapabilitas diri. Oleh karena itu selain disebut kaum intelektual muda, mahasiswa juga sering dikatakan dengan istilah civitas akademika, yang intinya memiliki daya nalar kritis, logis dan sistematis. Dan diantara ketiga itu yang paling mencolok mengalami dekadensi adalah nalar kritis. Nalar-nalar kritis seakan telah pudar dan tercorak samar. Bahkan kepekaaan atas sebuah sesuatu yang timpang pun nyaris tak tersentuh.

Dan sekarang ini nampaknya hal demikian itu tak lagi disadari. Dengan tumbangnya nalar-nalar kritis mengakibatkan jiwa sosialnya lemah dan terlemahkan. Kebanyakan menjadi cenderung apatis terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya. Bahkan lebih ironisnya lagi, lunturnya kekritisan itu juga dibarengi dengan kelogisan. Dengan lain kata, tak jarang apa yang diungkapkanya jauh dari definisi logis. Serta yang nampak jelas hanyalah sebuah bentuk reifikasi (pemberhalaan) terhadap sebuah peraturan yang mengikat. Karena pada dasarnya peraturan dibuat memang untuk mengikat atau membatasi, tinggal sebatas apa pengikatan atau pembatasan tersebut. Sehingga segala sesuatunya selalu dilakukan secara sistematis tanpa diimbangi dengan kritis dan logis. Lebih dari itu, ketika ada sebuah sistem yang berat sebelah pun di-iyakan begitu saja. Namun dilain pihak sebuah sistem diterapkan bisa saja bertujuan untuk stimulus agar timbul sebuah reaksi atau bahkan aksi.

Semisal, beberapa saat yang lalu saat Ujian Akhir Semester (UAS) Genap di kampus STKIP Trenggalek telah diberlakukan peraturan baru, yakni semua mahasiswa wajib mengenakan almamater selama ujian berlangsung. Dan dengan alasan apapun bagi mereka yang tidak mau mengenakan, tidak diizinkn masuk kelas dan mengikuti ujian. Jika kita peka, “kebijakan” semacam itu bisa saja sengaja dibuat untuk melihat sejauh mana tingkat kekritisan dan tindakan mahasiswa saat ini, ketika ada sebuah sistem yang membelenggunya. Namun kenyataanya, hanya segelintir orang saja yang berani mengkritisi atau bahkan menentang. Kebanyakan hanya meng-iyakan begitu saja tanpa mempertanyakan terlebih dahulu alasanya. Sehingga yang terlihat adalah penyeragaman terhadap keberagaman.

Ini hanya secarik contoh, masih banyak yang lainya, baik dalam lingkup birokrasi kampus maupun sampai lingkup Negara sekalipun. Tinggal pertanyaanya, mau dan siap atau tidak kita mencari itu semua. Jika boleh saya mengibaratkan, realita-realita di atas layaknya metode dialektikanya Hegel. Kemajuan dalam ranah akademisi adalah tesisnya sedangkan punahnya kekritisan adalah antitesisnya. Nah, yang belum ada tinggal sintesisnya. Singkatnya, setelah ada persoalan semacam itu tindakan seperti apa yang kita lakukan. Apakah kita akan tetap membiarkan dan menjamurkanya ? Atau merekonstruksinya ? Keputusanya tentu tergantung pada masing-masing pribadi, jika dia masih merasa mengemban tanggung jawab besar sebagai kaum intelektual muda pastinya ia akan melakukan sebuah gebrakan, yang dapat dimulai dari dirinya sendiri. Sehingga tradisi kritis, imajinatif serta solutif dapat kembali membumi di tengah kebuntuan gerakan mahasiswa saat ini. Sebab kaum intelektual muda sedang terlena oleh sejuknya “angin sepoi” yang mengakibatkanya tertidur pulas. Dan sekaranglah waktunya untuk digedor agar segera bangun dan bangkit dari mimpi-mimpi “indahnya”. Caranya adalah dengan memupuk kembali apa yang telah menjadi ciri khas kita, agar tidak tergerus, binasa atau bahkan menjadi sejarah belaka.

Oleh: Liris Larasati (the soul who is trying to be mean) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar