Senin, 08 Oktober 2012

Lihat, Dengar dan Resapi Suara Kami

"Sebagian besar diilhami dari kisah nyata
dan kegelisahan penulis terhadap mahasiswa saat ini
yang semakin luntur kekritisan dan keidealisanya."


Di sudut pojok belakang kelas itu aku selalu duduk setiap kali mengenyam mata kuliah yang disajikan oleh ibu dosen yang baik itu. Duduk termanggu dengan muka lusut akibat bersenggama dengan malaikat malam (insomnia) selalu menjadi ciri khas tampangku. Sesekali ku cuatkan rona wajah yang berseri agar teman-teman sekelasku mengira aku sedang bersenang hati menjaring materi yang dipaparkan olehnya. Ya, selalu saja seperti itu, selalu saja aku harus berkamuflase di hadapan mereka. Seolah seperti pesawat tempur yang sedang bermanuver ke segala arah untuk menghindari serangan musuh. "Lihat dosenya sudah stand by dari tadi," Ujar salah seorang temanku sambil berjalan ke kelas. "Ya nampaknya sudah cukup lama beliau menunggu kita," sahutku. Hampir tidak pernah aku beserta segerombolan kaum hawa masuk kelas tepat waktu. Karena memang tak jarang pula dosen itu menyunat waktu. Seperti biasa aku duduk di kursi bagian belakang, tempat yang menurutku paling nyaman, dan pas jika sesekali aku ingin menggoda temanku pria yang lagaknya lemah lembut gemulai layaknya wanita (jangan godain eike cyiin..haha tapi aku salut karena dia cerdas). Teman-teman yang setiap harinya menjadi obyek sorotan mata nakalku tatkala aku jenuh melihat raut muka penuh kesempurnaan dan kemunafikan yang terpampang dari ibu dosen yang baik itu. Ah, mungkin ini hanya sebuah keegoisan semata yang tercipta dari ketidakmampuanku dalam meresapi materi mata kuliahnya. Barangkali seperti itu, (ku coba mematikan "kenakalan" akalku).

Tiba-tiba sulutan suara yang cukup lantang menampar, "Hey, kamu mbak yang duduk di pojok belakang tolong kalau duduk yang baik dan sopan, badanya yang tegak jangan leyeh-leyeh seperti sedang nonton televisi seperti itu (padahal aku memang sedang nonton televisi dosen yaitu papan tulis)" Terperangahlah aku dengan gedoran semacam itu. Pertama-tama ku kira beliau adalah sosok yang kalem, karena memang rona wajahnya selalu diwarnai dengan senyum manis dan balutan ucapan yang empuk. Ah, lupakan saja mungkin memang aku yang salah karena duduk dengan santai menyandarkan punggung di kursi. Seketika keadaan kelas pun hening, tanpa sepatah kata pun terlontar dari mulut kering, pucat teman-temanku Hanya helaan nafas panjang penuh keterkejutanlah yang terus menguap dan mengepul di sekelilingku.

 Selanjutnya proses transfering of knowledge pun berlanjut, tentunya aku sudah tak berani lagi duduk seperti tadi dan duduk bak sedang mengikuti rapat dengan para kaum elite birokrasi yang perutnya semakin membusung itu (masak busung lapar?). Padahal masih tergores jelas di benaku perkataan dibandelan dan tumpukan kertas-kertas usang itu, yang menyuarakan bahwa kenyamanan adalah salah satu faktor pendukung suksesnya proses belajar mengajar. Ah,, lagi-lagi otak ini mendesak untuk melakukan sebuah pledoi dengan mengingatkanku akan konsep itu. Barangkali beliau lupa, dan tidak mungkin juga sekelas calon doktor buta akan hal demikian. Atau beliau sengaja menafikannya? Entahlah.
Tak berselang lama terdengar lagi lemparan teguran dan intruksi, "Yang ngantuk silahkan keluar untuk cuci muka." Aku tertohok dan melirik ke sekitarku, jangan-jangan aku lagi yang mendapat depakan ini, sebab aku tadi sempat melamun sebentar dan sesekali ku buka mulutku untuk mengeluarkan uap baunya (-_-"). Semua pada diam, dan hanya tolah-toleh dengan berkecamuk pertanyaan tentang siapa yang ditegur oleh bu dosen. "Kok malah tolah-toleh, kamu tu lho mas yang duduk pojok timur nomor dua dari belakang," sambungnya sembari berjalan mendekati temanku. "Ahhh.. lega, ternyata bukan aku lagi yang jadi sasaranya," kataku dalam hati. Sebab kalau sampai itu ditujukan ke aku lagi, tak khayal "keliaranku" tercuat kembali.

Ku kira teguranya hanya sampai di situ, ternyata kali ini tidak. "Aduh..sudah mengantuk ternyata kamu juga tidak membawa buku panduan ya, berarti dari tadi kamu tak bisa menangkap apa yang saya jelaskan," tambahnya dengan suara agak lantang diiringi mata yang terbelalak. Dengan wajah sayu, dan suara lirih temanku pun menukas "Maaf bu, buku saya ketinggalan, saya benar-benar tak mengira, seingatku tadi sudah saya masukan ke dalam tas."
Beliau pun merespon dengan sigapnya, "bagi mata kuliah saya tidak ada alasan apapun, bagi yang tidak membawa buku konsekuensinya harus keluar."

Padahal temanku itu adalah mahasiswa yang amat rajin dan sebelumnya hampir tak pernah dia lupa membawa buku mata kuliah, terutama yang disajikan oleh bu dosen yang mendepaknya itu.
"Masak hanya karena ketledoran seperti itu harus merelakan haknya dipasung bu. Padahal dia memang tak mengira jika ternyata bukunya belum dibawa, bukankah itu diluar kesengajaan. Terlebih, ketledoran itu juga masih kali pertama ini, tidak adakah toleransi di dalam kelas yang pengap ini?" Saut salah seorang temanku yang mencoba mempledoi.

"Sudah saya katakan saya tak menerima alasan seperti apapun bentuknya, entah itu lupa atau apalah namanya, bagi saya hal demikian sama halnya dengan tidak menghargai," jawab sang dosen dengan muka yang semakin memerah dan suara yang kian menggelegar. "Sudah, silahkan meninggalkan kelas, muka lusut kamu itu sudah mengacaukan konsentrasi dan saya anggap kamu tidak hadir hari ini," katanya tegas kepada temanku.

Seketika mulutku pun tak bisa ku kunci lagi, mendengar dan melihat dengan mata kepalaku sendiri sebuah penindasan hak seseorang. "Maaf  bu, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada anda, apa yang sudah ibu lakukan dan katakan sudah kelewatan. Ibu seperti sama sekali tak memanusiakan kami dengan keengganan melihat kemungkinan-kemungkinan lain dari setiap kejadian yang ada. Seolah segala sesuatu yang benar menurut anda wajib kami turuti, apakah itu bijak namanya?"
Beliaupun menanggapi dengan cepatnya, "Kalian itu saya ajari disiplin dan saya paling tidak suka melihat mahasiswa saya yang cenderung mengentengkan mata kuliah yang ada, terutama mata kuliah ini."

"Iya memang itu bisa dikatakan usaha untuk membiasakan disiplin, tapi dalam penanaman kedisiplinan itu, haruskah dilamberi sebuah pemaksaan? Bukankah masih banyak cara lain yang salah satunya dengan penyadaran. Terlebih kesalahan kan tak harus ditebus dengan sebuah hukuman. Okelah, anggap saja tidak membawa buku tadi sebuah kesalahan krusial, akan tetapi dalam penyikapanya kan tidak harus disuruh keluar. Kenapa tidak disuruh saja gabung dengan teman, saya rasa seperti itu lebih baik bu ketimbang menyuruhnya keluar dan tidak mengikuti mata kuliah sama sekali. Seharusnya penyikapan semacam itulah yang menjadi gambaran orang bijak." Tanggapku sambil menahan luapan emosi yang hampir membludak.

Dosen itupun juga kembali merespon, "kamu itu,,,teman salah masih saja dibela. Sejauh mana kamu mengerti mengenai kebijaksanaan, sejak kamu masih anak-anak saya sudah mengajar dan mengenyam pahit manisnya pengalaman. Dan tak pernah ada mahasiswa saya yang berani menentang seperti kamu ini. Kalau memang tak membawa seharusnya dia bilang dari tadi dan tidak hanya diam seperti patung."

Aku pun menyambar dengan lugasnya, "ini bukan mengenai benar atau salah bu, karena benar atau salah lebih sering bersifat subyektif ketimbang obyektif. Tapi lebih dari itu, ini tentang sebuah toleransi dan peran dosen selaku teladan yang bertugas melaksanakan amal ma'ruf nahi munkar secara konsekuen dan bijaksana. Itu yang saya ingat salah satu etika dosen yang tertuang dalam buku pedoman penyelenggaraan pendidikan kampus ini."
"Dan jika terkait esensi kebijaksanaan setahu saya masih sebatas sebuah keterbukaan fikiran (open minded), menjunjung tinggi toleransi, dan mengedepankan dilaogis ketimbang punish," tambahku.
Ibu dosen itu pun kembali mengeluarkan dalil-dalilnya, "rupanya pandai juga kamu berargumen dan beretorika. Sampai-sampai menenggelamkan sisi ketawadu'anmu pada orang tua," tambahnya dengan senyuman yang agak sinis.

"Semakin bingung lagi aku, padahal aku hanya sebatas beraspirasi, dan juga tidak sambil berdiri seperti ketika sedang berorasi menggugat elite birokrasi, kok dikatakan ga tawa'du ya. Apakah tawa'du itu selalu identik dengan taqlid ketika katakanlah orang yang lebih tua sedang menasihati," gumamku dalam hati.
"Baiklah mbak yang pandai beretorika (hah terimakasih julukannya, yang benar itu "pembual" eh :D) argumenmu memang cukup rasional, tapi pertanyaan saya, kenapa ketika sudah tau tidak membawa buku atau ketinggalan kok hanya diam saja, dan tak berani bilang? Seharusnya dia bisa bilang kepada saya dan izin untuk pinjam ke kelas lain kalau toh dia memang berniatan mengikuti dengan serius mata kuliah ini." lemparan pertanyaan sang dosen kepadaku lagi.

"Lha wong dari pertemuan pertama anda sudah mewanti-wanti bagi siapa saja yang tidak membawa buku harus keluar lho bu, bagaimana teman saya berani mengaku kalau sebelumnya sudah dihadang peraturan seperti itu. Entah keluar yang anda maksud itu untuk mencari pinjaman buku atau lainya, yang jelas seingat saya anda tak menjelaskanya dengan detail. Al hasil, karena teman saya takut, dia lebih memilih diam dan terus mengikuti mata kuliah anda dengan harapan anda tidak mengetahuinya jika sebenarnya dia tak memangku buku." jawabku dengan suara yang landai kali ini karena memang sudah agak capek terlalu lama berdebat.

Seketika bu dosen itu pun terperangah mendengar ucapanku, ucapan dari seorang mahasiswa pendiam yang selama ini menahan letupan-letupan oposisinya melihat kesemena-menaan semakin menjalar di sekelilingnya. Rona wajah merah pun terpajang jelas dari muka manis ibu dosen itu. Bukan karena emosi kali ini, tapi mungkin beliau sadar terlalu egois dirinya (semoga). Menganggap bahwa dirinya adalah subyek dan semua mahasiswanya obyek yang harus nurut segala peraturan yang ada dan wajib bungkam ketika dosen bilang atau mengintruksikan ini itu.

 "Ya sudah kali ini tidak apa-apa tapi lain kali jangan diulangi lagi," ucap sang dosen dengan konsiderasi yang lumayan lama dan masih berat hati tentunya. "Terimakasih bu buat kebijakanya, tapi kalau lain waktu saya lupa lagi dan tetap memutuskan untuk mengikuti mata kuliah ini dan anda anggap saya tak hadir juga tak apa, karena saya kuliah bukan semata-mata untuk mencari absensi saja melainkan ilmu yang dapat saya resapi dan mengerti. Dan sekali lagi maaf, kali ini saya lebih memilih tawaran anda yang pertama yaitu menyuruh keluar tadi, karena saya teringat kisah Socrates yang dipenjara karena dianggap meracuni pikiran para pemuda Athena, dan karena beberapa sahabat-sahabatnya adalah orang kaya dan cukup ternama akhirnya mereka berinisiatif ingin membebaskanya. Tapi apa yang dilakukan oleh Socrates justru tak disangka sama sekali, dia malah menolak tawaran itu dan pilih tetap mendekam di penjara. Dengan alasan katanya, "aku sering menggembar-gemborkan mengenai kebijaksanaan lalu jika aku menerima tawaran itu, masih pantaskah ku sebut diriku sebagai orang yang cinta kebijaksanaan," tegas temanku sambil berjalan meninggalkan kelas.

Sang dosen pun tercengang mendengar ungkapan temanku itu dan diam terpaku tanpa sepatah kata pun. Mungkin di benaknya bertengger sebuah kesimpulan besar bahwa beliau telah digedor hatinya oleh sekelompok mahasiswa ingusan (karena kami memang bukan apa-apa).
Beliaupun melontarkan kata-kata lagi dengan nada yang kalem dan mata sayu yang berkilau karena sudah agak berair, "kalian itu salah tapi masih saja berusaha berkelit mencari celah."

Aku beserta teman-teman tak meresponya dengan kata, hanya menatapnya sambil memaknainya. Dari sorot matanya yang tajam itu tercermin sebuah penyesalan meski ungkapan yang dilontarkan bermakna sebuah penguatan atas sikapnya. Tapi perkataan, fikiran dan perasaan kan tak selalu sama. Bahkan tak jarang pula ketiganya itu seperti musuh yang amat beda jauh. Perkataan masih bisa dimanipulasi dengan balutan retorika yang rapi tapi mimik yang terpancar dari relung hati sama sekali tak bisa dibohongi. Ya, ibu dosen yang baik itu seperti telah disadarkan oleh anak-anaknya sendiri.

Beberapa saat setelah temanku meninggalkan kelas konsentrasiku pun ikut-ikutan kacau, bukan pelajaran lagi yang ku fikirkan melainkan yang bernaung adalah mengenai kediktatoran, kedisiplinan dan makna sebuah kebijaksanaan. Jika diktator kumaknai identik dengan kedegilan dan pemaksaan kehendak lalu bagaimana dengan disiplin? Bukankah seringkali hal semacam itu dikatakan sebagai usaha untuk mendisiplinkan, lantas dimana perbedaanya? Semakin bingung aku dengan pertanyaan yang kubuat sendiri. Tentang toleransi dan makna kebijaksanaan itu sendiri. Selama ini ternyata aku berdiri di hadapan raut muka palsu yang berbalut senyum elok penuh hipokrisi. Seolah aku adalah anak ingusan yang sama sekali belum mengerti arti hak dan kewajiban. Bahkan aku sempat mengira sedang hidup di era penindasan, dan zaman kegelapan dalam sejarah peradaban yunani yang harus tunduk dengan segala bentuk kredo gereja. Ya, mungkin inilah yang disebut zaman edan, zaman yang penuh rigiditas, dan semakin mereduksi sendi-sendi inferioritas diri.


Tulungagung, 05 Oktober 2012, di sudut kamar mungilku yang saat itu baunya bangkai tikus di atas plafon.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar