"Sebagian besar diilhami dari kisah nyata
dan kegelisahan penulis terhadap mahasiswa saat ini
yang semakin luntur kekritisan dan keidealisanya."
Di sudut pojok belakang kelas itu aku selalu duduk setiap kali
mengenyam mata kuliah yang disajikan oleh ibu dosen yang baik itu. Duduk
termanggu dengan muka lusut akibat bersenggama dengan malaikat malam
(insomnia) selalu menjadi ciri khas tampangku. Sesekali ku cuatkan rona
wajah yang berseri agar teman-teman sekelasku mengira aku sedang
bersenang hati menjaring materi yang dipaparkan olehnya. Ya, selalu saja
seperti itu, selalu saja aku harus berkamuflase di hadapan mereka.
Seolah seperti pesawat tempur yang sedang bermanuver ke segala arah
untuk menghindari serangan musuh. "Lihat dosenya sudah stand by dari
tadi," Ujar salah seorang temanku sambil berjalan ke kelas. "Ya
nampaknya sudah cukup lama beliau menunggu kita," sahutku. Hampir tidak
pernah aku beserta segerombolan kaum hawa masuk kelas tepat waktu.
Karena memang tak jarang pula dosen itu menyunat waktu. Seperti biasa
aku duduk di kursi bagian belakang, tempat yang menurutku paling nyaman,
dan pas jika sesekali aku ingin menggoda temanku pria yang lagaknya lemah lembut gemulai layaknya wanita (jangan godain eike cyiin..haha tapi aku salut karena dia cerdas).
Teman-teman yang setiap harinya menjadi obyek sorotan mata nakalku
tatkala aku jenuh melihat raut muka penuh kesempurnaan dan kemunafikan
yang terpampang dari ibu dosen yang baik itu. Ah, mungkin ini hanya
sebuah keegoisan semata yang tercipta dari ketidakmampuanku dalam
meresapi materi mata kuliahnya. Barangkali seperti itu, (ku coba
mematikan "kenakalan" akalku).
Tiba-tiba sulutan suara yang cukup lantang menampar, "Hey, kamu mbak yang duduk di pojok belakang tolong kalau duduk yang baik dan sopan,
badanya yang tegak jangan leyeh-leyeh seperti sedang nonton televisi
seperti itu (padahal aku memang sedang nonton televisi dosen yaitu papan
tulis)" Terperangahlah aku dengan gedoran semacam itu. Pertama-tama ku
kira beliau adalah sosok yang kalem, karena memang rona wajahnya selalu
diwarnai dengan senyum manis dan balutan ucapan yang empuk. Ah, lupakan
saja mungkin memang aku yang salah karena duduk dengan santai
menyandarkan punggung di kursi. Seketika keadaan kelas pun hening, tanpa
sepatah kata pun terlontar dari mulut kering, pucat teman-temanku Hanya
helaan nafas panjang penuh keterkejutanlah yang terus menguap dan
mengepul di sekelilingku.
Selanjutnya proses transfering of knowledge pun
berlanjut, tentunya aku sudah tak berani lagi duduk seperti tadi dan
duduk bak sedang mengikuti rapat dengan para kaum elite birokrasi yang
perutnya semakin membusung itu (masak busung lapar?). Padahal masih
tergores jelas di benaku perkataan dibandelan dan tumpukan kertas-kertas
usang itu, yang menyuarakan bahwa kenyamanan adalah salah satu faktor
pendukung suksesnya proses belajar mengajar. Ah,, lagi-lagi otak ini
mendesak untuk melakukan sebuah pledoi dengan mengingatkanku akan konsep
itu. Barangkali beliau lupa, dan tidak mungkin juga sekelas calon
doktor buta akan hal demikian. Atau beliau sengaja menafikannya?
Entahlah.
Tak berselang lama terdengar lagi lemparan teguran dan
intruksi, "Yang ngantuk silahkan keluar untuk cuci muka." Aku tertohok
dan melirik ke sekitarku, jangan-jangan aku lagi yang mendapat depakan
ini, sebab aku tadi sempat melamun sebentar dan sesekali ku buka mulutku
untuk mengeluarkan uap baunya (-_-"). Semua pada diam, dan hanya tolah-toleh
dengan berkecamuk pertanyaan tentang siapa yang ditegur oleh bu dosen.
"Kok malah tolah-toleh, kamu tu lho mas yang duduk pojok timur nomor dua
dari belakang," sambungnya sembari berjalan mendekati temanku. "Ahhh..
lega, ternyata bukan aku lagi yang jadi sasaranya," kataku dalam hati.
Sebab kalau sampai itu ditujukan ke aku lagi, tak khayal "keliaranku"
tercuat kembali.
Ku kira teguranya hanya sampai di situ, ternyata kali ini
tidak. "Aduh..sudah mengantuk ternyata kamu juga tidak membawa buku
panduan ya, berarti dari tadi kamu tak bisa menangkap apa yang saya
jelaskan," tambahnya dengan suara agak lantang diiringi mata yang
terbelalak. Dengan wajah sayu, dan suara lirih temanku pun menukas "Maaf
bu, buku saya ketinggalan, saya benar-benar tak mengira, seingatku tadi
sudah saya masukan ke dalam tas."
Beliau pun merespon dengan
sigapnya, "bagi mata kuliah saya tidak ada alasan apapun, bagi yang
tidak membawa buku konsekuensinya harus keluar."
Padahal
temanku itu adalah mahasiswa yang amat rajin dan sebelumnya hampir tak
pernah dia lupa membawa buku mata kuliah, terutama yang disajikan oleh
bu dosen yang mendepaknya itu.
"Masak hanya karena ketledoran
seperti itu harus merelakan haknya dipasung bu. Padahal dia memang tak
mengira jika ternyata bukunya belum dibawa, bukankah itu diluar
kesengajaan. Terlebih, ketledoran itu juga masih kali pertama ini, tidak
adakah toleransi di dalam kelas yang pengap ini?" Saut salah seorang
temanku yang mencoba mempledoi.
"Sudah saya katakan saya tak menerima alasan seperti apapun
bentuknya, entah itu lupa atau apalah namanya, bagi saya hal demikian
sama halnya dengan tidak menghargai," jawab sang dosen dengan muka yang
semakin memerah dan suara yang kian menggelegar. "Sudah, silahkan
meninggalkan kelas, muka lusut kamu itu sudah mengacaukan konsentrasi
dan saya anggap kamu tidak hadir hari ini," katanya tegas kepada
temanku.
Seketika mulutku pun tak bisa ku kunci lagi, mendengar
dan melihat dengan mata kepalaku sendiri sebuah penindasan hak
seseorang. "Maaf bu, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada anda, apa
yang sudah ibu lakukan dan katakan sudah kelewatan. Ibu seperti sama
sekali tak memanusiakan kami dengan keengganan melihat
kemungkinan-kemungkinan lain dari setiap kejadian yang ada. Seolah
segala sesuatu yang benar menurut anda wajib kami turuti, apakah itu
bijak namanya?"
Beliaupun menanggapi dengan cepatnya, "Kalian itu
saya ajari disiplin dan saya paling tidak suka melihat mahasiswa saya
yang cenderung mengentengkan mata kuliah yang ada, terutama mata kuliah
ini."
"Iya memang itu bisa dikatakan usaha untuk membiasakan
disiplin, tapi dalam penanaman kedisiplinan itu, haruskah dilamberi
sebuah pemaksaan? Bukankah masih banyak cara lain yang salah satunya
dengan penyadaran. Terlebih kesalahan kan tak harus ditebus dengan
sebuah hukuman. Okelah, anggap saja tidak membawa buku tadi sebuah
kesalahan krusial, akan tetapi dalam penyikapanya kan tidak harus
disuruh keluar. Kenapa tidak disuruh saja gabung dengan teman, saya rasa
seperti itu lebih baik bu ketimbang menyuruhnya keluar dan tidak
mengikuti mata kuliah sama sekali. Seharusnya penyikapan semacam itulah
yang menjadi gambaran orang bijak." Tanggapku sambil menahan luapan
emosi yang hampir membludak.
Dosen itupun juga kembali merespon, "kamu itu,,,teman salah
masih saja dibela. Sejauh mana kamu mengerti mengenai kebijaksanaan,
sejak kamu masih anak-anak saya sudah mengajar dan mengenyam pahit
manisnya pengalaman. Dan tak pernah ada mahasiswa saya yang berani
menentang seperti kamu ini. Kalau memang tak membawa seharusnya dia
bilang dari tadi dan tidak hanya diam seperti patung."
Aku
pun menyambar dengan lugasnya, "ini bukan mengenai benar atau salah bu,
karena benar atau salah lebih sering bersifat subyektif ketimbang
obyektif. Tapi lebih dari itu, ini tentang sebuah toleransi dan peran
dosen selaku teladan yang bertugas melaksanakan amal ma'ruf nahi munkar
secara konsekuen dan bijaksana. Itu yang saya ingat salah satu etika
dosen yang tertuang dalam buku pedoman penyelenggaraan pendidikan kampus
ini."
"Dan jika terkait esensi kebijaksanaan setahu saya masih
sebatas sebuah keterbukaan fikiran (open minded), menjunjung tinggi
toleransi, dan mengedepankan dilaogis ketimbang punish," tambahku.
Ibu
dosen itu pun kembali mengeluarkan dalil-dalilnya, "rupanya pandai juga
kamu berargumen dan beretorika. Sampai-sampai menenggelamkan sisi
ketawadu'anmu pada orang tua," tambahnya dengan senyuman yang agak
sinis.
"Semakin bingung lagi aku, padahal aku hanya sebatas
beraspirasi, dan juga tidak sambil berdiri seperti ketika sedang
berorasi menggugat elite birokrasi, kok dikatakan ga tawa'du ya. Apakah
tawa'du itu selalu identik dengan taqlid ketika katakanlah orang yang
lebih tua sedang menasihati," gumamku dalam hati.
"Baiklah mbak
yang pandai beretorika (hah terimakasih julukannya, yang benar itu "pembual" eh :D) argumenmu memang cukup rasional, tapi pertanyaan
saya, kenapa ketika sudah tau tidak membawa buku atau ketinggalan kok
hanya diam saja, dan tak berani bilang? Seharusnya dia bisa bilang
kepada saya dan izin untuk pinjam ke kelas lain kalau toh dia memang
berniatan mengikuti dengan serius mata kuliah ini." lemparan pertanyaan
sang dosen kepadaku lagi.
"Lha wong dari pertemuan pertama anda sudah mewanti-wanti bagi
siapa saja yang tidak membawa buku harus keluar lho bu, bagaimana teman
saya berani mengaku kalau sebelumnya sudah dihadang peraturan seperti
itu. Entah keluar yang anda maksud itu untuk mencari pinjaman buku atau
lainya, yang jelas seingat saya anda tak menjelaskanya dengan detail. Al
hasil, karena teman saya takut, dia lebih memilih diam dan terus
mengikuti mata kuliah anda dengan harapan anda tidak mengetahuinya jika
sebenarnya dia tak memangku buku." jawabku dengan suara yang landai kali
ini karena memang sudah agak capek terlalu lama berdebat.
Seketika
bu dosen itu pun terperangah mendengar ucapanku, ucapan dari seorang
mahasiswa pendiam yang selama ini menahan letupan-letupan oposisinya
melihat kesemena-menaan semakin menjalar di sekelilingnya. Rona wajah
merah pun terpajang jelas dari muka manis ibu dosen itu. Bukan karena
emosi kali ini, tapi mungkin beliau sadar terlalu egois dirinya (semoga).
Menganggap bahwa dirinya adalah subyek dan semua mahasiswanya obyek yang
harus nurut segala peraturan yang ada dan wajib bungkam ketika dosen
bilang atau mengintruksikan ini itu.
"Ya sudah kali ini tidak apa-apa tapi lain kali jangan diulangi
lagi," ucap sang dosen dengan konsiderasi yang lumayan lama dan masih
berat hati tentunya. "Terimakasih bu buat kebijakanya, tapi kalau lain
waktu saya lupa lagi dan tetap memutuskan untuk mengikuti mata kuliah
ini dan anda anggap saya tak hadir juga tak apa, karena saya kuliah
bukan semata-mata untuk mencari absensi saja melainkan ilmu yang dapat
saya resapi dan mengerti. Dan sekali lagi maaf, kali ini saya lebih
memilih tawaran anda yang pertama yaitu menyuruh keluar tadi, karena
saya teringat kisah Socrates yang dipenjara karena dianggap meracuni
pikiran para pemuda Athena, dan karena beberapa sahabat-sahabatnya
adalah orang kaya dan cukup ternama akhirnya mereka berinisiatif ingin
membebaskanya. Tapi apa yang dilakukan oleh Socrates justru tak disangka
sama sekali, dia malah menolak tawaran itu dan pilih tetap mendekam di
penjara. Dengan alasan katanya, "aku sering menggembar-gemborkan
mengenai kebijaksanaan lalu jika aku menerima tawaran itu, masih
pantaskah ku sebut diriku sebagai orang yang cinta kebijaksanaan," tegas
temanku sambil berjalan meninggalkan kelas.
Sang dosen pun
tercengang mendengar ungkapan temanku itu dan diam terpaku tanpa sepatah
kata pun. Mungkin di benaknya bertengger sebuah kesimpulan besar bahwa
beliau telah digedor hatinya oleh sekelompok mahasiswa ingusan (karena kami memang bukan apa-apa).
Beliaupun
melontarkan kata-kata lagi dengan nada yang kalem dan mata sayu yang
berkilau karena sudah agak berair, "kalian itu salah tapi masih saja
berusaha berkelit mencari celah."
Aku beserta teman-teman tak meresponya dengan kata, hanya
menatapnya sambil memaknainya. Dari sorot matanya yang tajam itu
tercermin sebuah penyesalan meski ungkapan yang dilontarkan bermakna
sebuah penguatan atas sikapnya. Tapi perkataan, fikiran dan perasaan kan
tak selalu sama. Bahkan tak jarang pula ketiganya itu seperti musuh
yang amat beda jauh. Perkataan masih bisa dimanipulasi dengan balutan
retorika yang rapi tapi mimik yang terpancar dari relung hati sama
sekali tak bisa dibohongi. Ya, ibu dosen yang baik itu seperti telah
disadarkan oleh anak-anaknya sendiri.
Beberapa saat
setelah temanku meninggalkan kelas konsentrasiku pun ikut-ikutan kacau,
bukan pelajaran lagi yang ku fikirkan melainkan yang bernaung adalah
mengenai kediktatoran, kedisiplinan dan makna sebuah kebijaksanaan. Jika
diktator kumaknai identik dengan kedegilan dan pemaksaan kehendak lalu
bagaimana dengan disiplin? Bukankah seringkali hal semacam itu dikatakan
sebagai usaha untuk mendisiplinkan, lantas dimana perbedaanya? Semakin
bingung aku dengan pertanyaan yang kubuat sendiri. Tentang toleransi dan
makna kebijaksanaan itu sendiri. Selama ini ternyata aku berdiri di
hadapan raut muka palsu yang berbalut senyum elok penuh hipokrisi.
Seolah aku adalah anak ingusan yang sama sekali belum mengerti arti hak
dan kewajiban. Bahkan aku sempat mengira sedang hidup di era penindasan,
dan zaman kegelapan dalam sejarah peradaban yunani yang harus tunduk
dengan segala bentuk kredo gereja. Ya, mungkin inilah yang disebut zaman
edan, zaman yang penuh rigiditas, dan semakin mereduksi sendi-sendi
inferioritas diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar