Selasa, 25 September 2012

MENGUKIR SEJARAH DENGAN MENULIS


"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."- Pramoedya Ananta Toer


Tampaknya, apa yang dikatakan oleh Pram di atas tidaklah berlebihan. Sebab jika kita lacak, hampir dari setiap tokoh maupun orang-orang hebat di dunia ini selalu dikenal lewat karya pemikiranya yang fenomenal. Dan karya besarnya itu selalu dimaktubkan dalam sebuah buku. Oleh sebab itu tak aneh jika mereka tetap dikenal dan disanjung dari generasi ke generasi karena memang mereka telah memantik proyek pikiranya dalam sebuah karya yang tak akan pernah sirna ditelan oleh masa. Kita ambil contoh Herodotus yang dianggap sebagai bapak sejarah dunia Barat. Dia mendekati sejarah sebagai ilmu dengan mengumpulkan materinya secara sistematis dan melakukan pengujian akurasinya. Dalam banyak literatur dikatakan bahwa Herodotus juga seorang narator berbakat. Kata sejarah sendiri berasal dari buku Herodotus “The Histories”, dalam bahasa Yunani berarti "penyelidikan". Buku ini juga dianggap karya pertama sejarah dalam sastra Barat. Sehingga, tak ayal jika nama besarnya tetap tersohor sampai sekarang karena memang dia telah memberi sumbangsih besar sepanjang peradaban manusia.  Oleh karena itu, seperti yang dikatakan oleh Pram bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. 

Lebih dari itu, terciptanya peradaban manusia yang tercerahkan tentu saja tidak terlepas dari peran besar para generasi yang hidup di masa itu. Juga dipengaruhi oleh spirit pendahulu yang telah menanamkan cikal-bakal perubahan menuju peradaban yang lebih gemilang. Macam penulis tersohor seperti Pramoedya Ananta Toer sebenarnya telah mengajarkan pada kita tidak hanya tentang perjuangan hak asasi manusia akan tetapi juga semangat yang senantiasa menyala untuk terus berkarya. Bahkan ketika beliau diberi penghargaan oleh presiden Soekarno untuk menyambut tamu dari luar negeri dalam bidang kesusastraan ia justru menolaknya dengan alasan, jika ia menyambut tamu itu maka rutinitas menulisnya akan terbengkalai. Sungguh keputusan yang tidak semua orang mampu melakukanya. Kecintaanya dengan dunia menulis seolah telah membiusnya dari tawaran yang menggiurkan sekalipun. Maka dari itu, spirit dan kecintaanya terhadap menulis sudah seharusnya kita contoh dan tradisikan sejak dini.


Membangun Generasi Tulis


Peradaban yang kian maju dalam berbagai aspek seperti IPTEK ternyata juga membawa dampak buruk tersendiri. Pesatnya laju perkembangan tekhnologi misalnya, telah banyak menelurkan generasi dengan label mentalitas instan. Tidak hanya itu, bahkan pondasi dasar terbentuknya sebuah pengetahuan berupa membaca dan menulispun mulai luntur. Padahal kedua hal itu adalah kunci utama untuk menuju pendidikan yang berkualitas bahkan dalam spektrum yang lebih luas adalah peradaban yang maju. Di sisi lain, generasi muda merupakan suatu entitas yang sangat potensial. Ibarat satu mata rantai yang terjurai panjang, posisi generasi muda dalam masyarakat menempati mata rantai yang paling sentral, berfungsi sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa yang telah diletakkan oleh generasi sebelumnya dan berkemampuan untuk mengisi dan membina peradaban mendatang. Kedudukannya yang strategis ini membuat setiap bangsa menaruh berbagai harapan yang sangat besar kepada mereka. Oleh karena itu, potensi besar yang dimilikinya harus segera mungkin digali dan dikembangkan sejak dini

Banyak para ahli yang mengatakan kalau menulis merupakan salah satu skill yang lebih tinggi derajatnya ketimbang membaca ataupun berbicara. Pernyataan itu diperkuat oleh Djoko Pitono, dalam salah satu esainya yang dimuat di Jawa Pos, (5/8) yang lalu. Dia mengatakan bahwa sebagai salah satu ketrampilan berbahasa, menulis merupakan ketrampilan yang paling tinggi mutunya, dibanding dengan ketrampilan menyimak, berbicara dan membaca. Ketrampilan tersebut hanya bisa diperoleh ketika sudah melewati tahap membaca. Karena itu merupakan ketentuan dasarnya. Tidak hanya itu menurutnya, berbagai survei di Amerika sejak 1980-an menunjukan bahwa menurunya kinerja bisnis di perusahaan-perusahaan dikarenakan merosotnya ketrampilan menulis lulusan sekolah. Sehingga banyak Universitas di Amerika yang membuka program menulis untuk mahasiswa di tahun pertama. Dan pengajarnya bukan para profesor bahasa, tetapi justru para jurnalis, kolumnis, dan pengarang profesional.

Ini menunjukan bahwa perihal menulis memang sudah menjadi sorotan dunia global dan dianggap memiliki pengaruh besar dalam maju mundurnya sebuah peradaban. Nah, hal inilah yang mungkin belum disadari oleh khalayak kita. Sehingga ihwal menulis masih belum bersemai dan dianggap sebagai aktivitas yang mungkin membuang-buang waktu dan tidak berguna. Dan untuk membangun generasi tulis maka hal pertama yang paling penting dilakukan adalah dengan mentradisikan membaca dulu. Sebab seperti yang dikatakan oleh Djoko Pitono di atas tadi bahwa untuk mencapai taraf menulis maka sebelumnya harus melewati taraf membaca dulu. Sebab keduanya merupakan entitas yang saling berhubungan dan berkaitan erat. Dan tampaknya bukan suatu hal yang mustahil sebuah generasi tulis benar-benar terwujud jika digalakan sejak dini. Pasalnya, jika kita mengingat profil dari seorang penulis produktif sekaliber Hernowo saja mulai menulis ketika sudah berumur 44 tahun. Jadi jika yang lebih muda, sudah pasti bisa lebih baik darinya bukan.

Belajar dari Sejarah

Barangkali tak sedikit yang mengatakan bahwa belantika sejarah Indonesia berdominasi lisan. Misalnya sejak kecil kita sudah diperkenalkan dengan dongeng, cerita-cerita rakyat dsb. Setidaknya, pernyataan itu memang ada benarnya. Mengingat memang pada kenyataanya seperti itu. Namun bukan berarti peradaban kita sama sekali tak mengenal tulis-menulis untuk mengabadikan peristiwa atau mewariskan ilmu pengetahuan secara turun temurun. Hal ini bisa kita lacak dan buktikan dari terciptanya bahasa atau aksara jawa. Menurut Budiono Herusatoto (2011) bahwa sejak tanggal 1 bulan Srawana tahun 1 Saka (7 Maret 78 Masehi) telah terjadi reformasi kebudayaan Jawa, dari budaya lisan dan mendengarkan menjadi budaya tulis dan membaca. Ini berarti pula telah tumbuh kekreativitasan dan kemampuan dalam hal menulis dan mencipta untuk menuangkan gagasan menjadi sebuah karya baru, yakni sebuah dokumen yang dapat diwariskan sepanjang masa.

Sebagai penanda awal karya baru yang dapat diwariskan sepanjang masa itu adalah model grafis (bentuk guratan tulisan) sebanyak 20 aksara: ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga, yang konon diciptakan oleh Empu Sengkala, pemimpin rombongan pertama Brahmana bangsa Hindu/India yang kemudian menetap di tanah Jawa hampir satu abad lamanya. Berkat jasanya meningkatkan peradaban baru itu akhirnya dia dinobatkan sebagai raja Medangkamulan dengan gelar Prabu Silih Wahana, (raja yang mengubah zaman) atau sering disebut juga dengan Aji Saka. Akhirnya berpuluh-puluh abad aksara Jawa itu diajarkan dari generasi ke generasi sebagai materi belajar tulis-menulis. Sehingga pada abad-abad yang bersangkutan banyak lahir para sastrawan, pujangga yang menulis dongeng, babad, dan legenda. Bahkan tak jarang berbagai literatur yang menyebutkan bahwa hingga pertengahan abad 19,  pada zamanya Pujangga Jawa Baru adalah zaman keemasan sastra Jawa.

Secarik sejarah tadi tentu saja adalah bukti bahwa tradisi kita zaman dahulu tidak hanya melulu berdominasi lisan. Bahkan aksara Jawa yang sampai saat ini tetap dilestarikan adalah bukti nyata atas spirit kemajuan peradaban kita di masa lampau. Disisi lain, kisah Aji Saka tadi tentunya juga menyiratkan makna bahwa pengukiran sejarahnya bermula dari penciptaan karya tulis fenomenal aksara Jawa. Dan karena itu pulalah hingga kini dia dan karyanya tetap dikenang dan bermanfaat sepanjang masa. Maka ada benarnya jika sang hujattul Islam, Imam Ghazali mengatakan bahwa, kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis. Sebab dengan menjadi seorang penulis namamu akan menjadi penanda dan tersohor layaknya mereka.
Jadi sudah tidak ada alasan lagi untuk kita bingung terkait dengan bagaimana cara memantik sejarah. Kita memang bentukan dari sejarah tapi bukan berarti sejarah kita ditentukan sepenuhnya oleh sejarah pendahulu kita. Sebab kita hidup dalam generasi kita dan seperti apa bentuk atau karakternya kitalah yang menentukanya. Maka, mari kita pahat peradaban ini dengan ciri khas produktivitas menulisnya.
  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar