"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak
menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis
adalah bekerja untuk keabadian."- Pramoedya Ananta Toer
Tampaknya, apa yang dikatakan oleh Pram di atas tidaklah
berlebihan. Sebab jika kita lacak, hampir dari setiap tokoh maupun
orang-orang hebat di dunia ini selalu dikenal lewat karya pemikiranya
yang fenomenal. Dan karya besarnya itu selalu dimaktubkan dalam sebuah
buku. Oleh sebab itu tak aneh jika mereka tetap dikenal dan disanjung
dari generasi ke generasi karena memang mereka telah memantik proyek
pikiranya dalam sebuah karya yang tak akan pernah sirna ditelan oleh
masa. Kita ambil contoh Herodotus yang dianggap sebagai bapak sejarah
dunia Barat. Dia mendekati sejarah sebagai ilmu dengan mengumpulkan
materinya secara sistematis dan melakukan pengujian akurasinya. Dalam
banyak literatur dikatakan bahwa Herodotus juga seorang narator
berbakat. Kata sejarah sendiri berasal dari buku Herodotus “The
Histories”, dalam bahasa Yunani berarti "penyelidikan". Buku ini juga
dianggap karya pertama sejarah dalam sastra Barat. Sehingga,
tak ayal jika nama besarnya tetap tersohor sampai sekarang karena memang
dia telah memberi sumbangsih besar sepanjang peradaban manusia. Oleh
karena itu, seperti yang dikatakan oleh Pram bahwa menulis adalah
bekerja untuk keabadian.
Lebih dari itu, terciptanya peradaban manusia yang tercerahkan
tentu saja tidak terlepas dari peran besar para generasi yang hidup di
masa itu. Juga dipengaruhi oleh spirit pendahulu yang telah menanamkan
cikal-bakal perubahan menuju peradaban yang lebih gemilang. Macam
penulis tersohor seperti Pramoedya Ananta Toer sebenarnya telah
mengajarkan pada kita tidak hanya tentang perjuangan hak asasi manusia
akan tetapi juga semangat yang senantiasa menyala untuk terus berkarya.
Bahkan ketika beliau diberi penghargaan oleh presiden Soekarno untuk
menyambut tamu dari luar negeri dalam bidang kesusastraan ia justru
menolaknya dengan alasan, jika ia menyambut tamu itu maka rutinitas
menulisnya akan terbengkalai. Sungguh keputusan yang tidak semua orang
mampu melakukanya. Kecintaanya dengan dunia menulis seolah telah
membiusnya dari tawaran yang menggiurkan sekalipun. Maka dari itu,
spirit dan kecintaanya terhadap menulis sudah seharusnya kita contoh dan
tradisikan sejak dini.
Membangun Generasi Tulis
Peradaban yang kian maju dalam berbagai aspek seperti IPTEK ternyata
juga membawa dampak buruk tersendiri. Pesatnya laju perkembangan
tekhnologi misalnya, telah banyak menelurkan generasi dengan label
mentalitas instan. Tidak hanya itu, bahkan pondasi dasar terbentuknya
sebuah pengetahuan berupa membaca dan menulispun mulai luntur. Padahal
kedua hal itu adalah kunci utama untuk menuju pendidikan yang
berkualitas bahkan dalam spektrum yang lebih luas adalah peradaban yang
maju. Di sisi lain, generasi muda merupakan suatu entitas yang sangat
potensial. Ibarat satu mata rantai yang terjurai panjang, posisi
generasi muda dalam masyarakat menempati mata rantai yang paling
sentral, berfungsi sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa yang
telah diletakkan oleh generasi sebelumnya dan berkemampuan untuk mengisi
dan membina peradaban mendatang. Kedudukannya yang strategis ini
membuat setiap bangsa menaruh berbagai harapan yang sangat besar kepada
mereka. Oleh karena itu, potensi besar yang dimilikinya harus segera
mungkin digali dan dikembangkan sejak dini
Banyak para ahli yang mengatakan kalau menulis merupakan salah satu skill
yang lebih tinggi derajatnya ketimbang membaca ataupun berbicara.
Pernyataan itu diperkuat oleh Djoko Pitono, dalam salah satu esainya
yang dimuat di Jawa Pos, (5/8) yang lalu. Dia mengatakan bahwa sebagai
salah satu ketrampilan berbahasa, menulis merupakan ketrampilan yang
paling tinggi mutunya, dibanding dengan ketrampilan menyimak, berbicara
dan membaca. Ketrampilan tersebut hanya bisa diperoleh ketika sudah
melewati tahap membaca. Karena itu merupakan ketentuan dasarnya. Tidak
hanya itu menurutnya, berbagai survei di Amerika sejak 1980-an
menunjukan bahwa menurunya kinerja bisnis di perusahaan-perusahaan
dikarenakan merosotnya ketrampilan menulis lulusan sekolah. Sehingga
banyak Universitas di Amerika yang membuka program menulis untuk
mahasiswa di tahun pertama. Dan pengajarnya bukan para profesor bahasa,
tetapi justru para jurnalis, kolumnis, dan pengarang profesional.
Ini menunjukan bahwa perihal menulis memang sudah menjadi sorotan
dunia global dan dianggap memiliki pengaruh besar dalam maju mundurnya
sebuah peradaban. Nah, hal inilah yang mungkin belum disadari
oleh khalayak kita. Sehingga ihwal menulis masih belum bersemai dan
dianggap sebagai aktivitas yang mungkin membuang-buang waktu dan tidak
berguna. Dan untuk membangun generasi tulis maka hal pertama yang paling
penting dilakukan adalah dengan mentradisikan membaca dulu. Sebab
seperti yang dikatakan oleh Djoko Pitono di atas tadi bahwa untuk
mencapai taraf menulis maka sebelumnya harus melewati taraf membaca
dulu. Sebab keduanya merupakan entitas yang saling berhubungan dan
berkaitan erat. Dan tampaknya bukan suatu hal yang mustahil sebuah
generasi tulis benar-benar terwujud jika digalakan sejak dini. Pasalnya,
jika kita mengingat profil dari seorang penulis produktif sekaliber
Hernowo saja mulai menulis ketika sudah berumur 44 tahun. Jadi jika yang
lebih muda, sudah pasti bisa lebih baik darinya bukan.
Belajar dari Sejarah
Barangkali tak sedikit yang mengatakan bahwa belantika sejarah
Indonesia berdominasi lisan. Misalnya sejak kecil kita sudah
diperkenalkan dengan dongeng, cerita-cerita rakyat dsb. Setidaknya,
pernyataan itu memang ada benarnya. Mengingat memang pada kenyataanya
seperti itu. Namun bukan berarti peradaban kita sama sekali tak mengenal
tulis-menulis untuk mengabadikan peristiwa atau mewariskan ilmu
pengetahuan secara turun temurun. Hal ini bisa kita lacak dan buktikan
dari terciptanya bahasa atau aksara jawa. Menurut Budiono Herusatoto
(2011) bahwa sejak tanggal 1 bulan Srawana tahun 1 Saka (7 Maret 78
Masehi) telah terjadi reformasi kebudayaan Jawa, dari budaya lisan dan
mendengarkan menjadi budaya tulis dan membaca. Ini berarti pula telah
tumbuh kekreativitasan dan kemampuan dalam hal menulis dan mencipta
untuk menuangkan gagasan menjadi sebuah karya baru, yakni sebuah dokumen
yang dapat diwariskan sepanjang masa.
Sebagai penanda awal karya baru yang dapat diwariskan sepanjang masa
itu adalah model grafis (bentuk guratan tulisan) sebanyak 20 aksara:
ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga, yang
konon diciptakan oleh Empu Sengkala, pemimpin rombongan pertama Brahmana
bangsa Hindu/India yang kemudian menetap di tanah Jawa hampir satu abad
lamanya. Berkat jasanya meningkatkan peradaban baru itu akhirnya dia
dinobatkan sebagai raja Medangkamulan dengan gelar Prabu Silih Wahana,
(raja yang mengubah zaman) atau sering disebut juga dengan Aji Saka.
Akhirnya berpuluh-puluh abad aksara Jawa itu diajarkan dari generasi ke
generasi sebagai materi belajar tulis-menulis. Sehingga pada abad-abad
yang bersangkutan banyak lahir para sastrawan, pujangga yang menulis
dongeng, babad, dan legenda. Bahkan tak jarang berbagai literatur yang
menyebutkan bahwa hingga pertengahan abad 19, pada zamanya Pujangga
Jawa Baru adalah zaman keemasan sastra Jawa.
Secarik sejarah tadi tentu saja adalah bukti bahwa tradisi kita zaman
dahulu tidak hanya melulu berdominasi lisan. Bahkan aksara Jawa yang
sampai saat ini tetap dilestarikan adalah bukti nyata atas spirit
kemajuan peradaban kita di masa lampau. Disisi lain, kisah Aji Saka tadi
tentunya juga menyiratkan makna bahwa pengukiran sejarahnya bermula
dari penciptaan karya tulis fenomenal aksara Jawa. Dan karena itu
pulalah hingga kini dia dan karyanya tetap dikenang dan bermanfaat
sepanjang masa. Maka ada benarnya jika sang hujattul Islam, Imam Ghazali
mengatakan bahwa, kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak
ulama besar, maka jadilah penulis. Sebab dengan menjadi seorang penulis
namamu akan menjadi penanda dan tersohor layaknya mereka.
Jadi sudah tidak ada alasan lagi untuk kita bingung terkait dengan
bagaimana cara memantik sejarah. Kita memang bentukan dari sejarah tapi
bukan berarti sejarah kita ditentukan sepenuhnya oleh sejarah pendahulu
kita. Sebab kita hidup dalam generasi kita dan seperti apa bentuk atau
karakternya kitalah yang menentukanya. Maka, mari kita pahat peradaban
ini dengan ciri khas produktivitas menulisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar