Rabu, 14 November 2012

Esensi Hijriyah dan Suronan Sebagai Peningkatan Kualitas Diri

Oleh: Larasati ℓίяί∫




Sahabatku seluruh Mahasiswa dan segenap Saudara-saudaraku yang senantiasa berorientasi dan memprioritaskan kebenaran demi terciptanya sebuah tatanan kebaikan.
Semoga sapa saya kali ini mendapati Kalian semua senantiasa berada dalam samudera pengarungan pengetahuan dan jati diri. Bila kita masih sempat bertemu nanti, semoga saat itu Sahabatku semua yang baik sedang berada dalam kondisi yang dimuliakan dan tidak pernah merasa jenuh meniti jalan kebaikan, sehingga termasuk dalam orang-orang yang pilihan.

Kesempatan ini saya akan berdialektika sekaligus meluangkan waktu sejenak di tengah pelbagai kesibukan masing-masing untuk berkontemplasi terhadap adanya moment religius tahun baru hijriyah atau dalam kebudayaan jawa lebih akrab disebut "Suronan". Sebagian orang barangkali kurang peduli ataupun belum mengetahui esensi dibalik tahun baru hijryah yang memiliki berbagai makna tersebut. Bahkan realita yang sering kali tercuat adalah moment ini hanya diasumsikan sebagai rutinitas tahunan belaka yang tak bermakna. Dan lebih ironisnya lagi ialah tak jarang dari kita yang memanfaatkanya untuk berlomba-lomba bersedekah ataupun melakukan ritual-ritual keagamaan. Namun, sesaat setelah moment tersebut usai, semua itu hilang bak ditelan bumi. Dengan kata lain mungkin lebih tepat disebut sebagai "keshalehan ritual dan sosial yang kondisional".

Padahal menurut Ragib al-Isfahani (w 502 H/1108 M) yakni seorang pakar leksikografi Alquran, menjelaskan, hijryah setidaknya mengandung dua makna. Pertama, secara fisik, adalah seperti hijrah Rasul dari makah ke madinah. Selanjutnya yang Kedua, non fisik atau mental, yakni meninggalkan dominasi syahwat, segala bentuk akhlak tercela dan dosa menuju kebaikan yang diridhai Tuhan (QS.29:26), opini surya senin, 11 desember 2012.

Dari nukilan di atas tertuang jelas sekali bahwa makna tersirat atau hakikat dibalik peringatan ini utamanya lebih merujuk pada peningkatan kualitas diri, yang selanjutnya barulah diaplikasikan pada tatanan sosial secara berkelanjutan, dan tentu saja bukan kondisional. Sebab percuma saja jika pencapaian kualitas diri sudah terpenuhi tapi tak diiringi dengan realisasi. Apalagi jika penekananya hanya pada kesalehan ritual yang kondisional, sama halnya dengan melukis di atas air. Pada akhirnya esensi dari momentum ini akan tersentuh bahkan mendarah daging manakala setiap pribadi telah mampu mencapai tataran berarti seperti yang disebutkan di atas tadi.

Disisi lain bagi masyrakat jawa moment ini tak hanya diperingati seperti yang telah disebutkan di atas namun lebih dari itu juga diiringi dengan adanya pelestarian tradisi maupun budaya. Seperti yang telah kita kenal tradisi genduri, larung sesajen ke laut atau sedekah bumi dll. Bagi orang yang memandang melaui perspektif Theologi atau Keagamaan mungkin akan mengatakan ini merupakan amalan-amalan kesyirikan. Namun jika kita  mau melakukan Tranformasi paradigma berfikir yang lebih komprehensif dalam memandang dan menyikapi suatu hal, pastinya tak akan begitu saja mengatakan demikian. Dengan kata lain, menelaahnya melalui berbagai sudut pandang. Dan untuk mampu seperti itu dengan terpaksa kita harus berani melepas sejenak embel-embel Theologi ataupun Keagamaan. Sebab jika kita masih terikat oleh label keagamaan maka kita tak akan mampu menyelami sesuatu secara mendalam, itu dikarenakan kita tak bisa berfikir dengan "bebas".

Selanjutnya bagi kita yang kebetulan berada dalam ruang lingkup jawa tentunya tidak terlepas dengan budaya-budaya yang telah lama tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Seperti salah satunya Suronan itu tadi. Bagi mereka yang telah melestarikan tradisi Suronan pasti tidak terima jika mendengar ada yang mengatakan Suronan harus diobliterasi (tiadakan), sebab mereka mengaggap itu merupakan warisan nenek moyang yang di dalamnya terkandung kearifan nilai-nilai budaya yang harus dilestarikan olehnya dan anak cucu kelak. Oleh karenya mereka sangat menjunjung tinggi adanya tradisi itu. Akan tetapi mungkin sama sekali tidak dihiraukan jika ada yang mengatakan, itu merupakan syirik. Sebab "syirik" mempunyai makna yang luas, tinggal dari sudut pandang mana kita menelaahnya. Dan dengan adanya pengeklaiman tersebut sedikit pun tak mengurangi nilai-nilai yang terkandung. Disamping itu tradisi-tradisi jawa seperti genduri, suronan ataupun lain sebagainya pada hakekatnya telah mengalami alkulturasi antara islam dengan budaya yang bersangkutan itu sendiri. Serta dapat dimaknai sebagai bentuk rasa syukur atau lebih akrab disebut sedekah bumi. Sehingga suatu kesalahan sosial jika saat ini masih ada yang berpandangan sempit seperti itu dan dengan seenaknya sendiri mengatakan ini syirik, itu syirik. Kok kayak Tuhan saja.


Oleh karena itu perlu adanya pandangan yang inklusif, khususnya bagi mereka yang masih senang menganggap dirinya paling benar dan umumnya bagi kita yang cinta akan keragaman. Sebab tanpa adanya hal tersebut tidak menutup kemungkinan satu persatu dari kebudayaan kita akan tergerus serta tertimbun oleh debu-debu yang selanjutnya  menjadi fosil. Sekarang tinggal kita memilih yang mana, tetap mengusung pola fikir ortodoks yang implikasinya hanya melahirkan kemadharatan. Ataukah memilih menjadi orang yang kelebihanya adalah mampu memaknai atas pelbagai hal sebagai bentuk Kemahakuasan Tuhan. Terserah anda memilih yang mana, sebab hidup memang sebuah pilihan dan tak satu pun dari kita yang dapat mengelak dari keharusan untuk memilih.

Saya pribadi sadar bahwa tulisan ini tidaklah cukup untuk menjadi bahan refrensi. Akan tetapi, setidaknya tulisan ini cukup sebagai bahan renungan dan mengantarkan kita pada tindakan yang lebih layak. Serta menjadikan kita pribadi-pribadi yang mampu menyikapi setiap persoalan yang ada secara tepat. Sehingga endingnya dapat meningkatkan kualitas diri sampai tataran yang benar-benar berarti. Semoga.

( jiwa yang sedang berupaya menjadi berarti )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar