Oleh: Larasati ℓίяί∫
Sahabatku seluruh Mahasiswa dan segenap Saudara-saudaraku yang
senantiasa berorientasi dan memprioritaskan kebenaran demi terciptanya
sebuah tatanan kebaikan.
Semoga sapa saya kali ini mendapati Kalian
semua senantiasa berada dalam samudera pengarungan pengetahuan dan jati
diri. Bila kita masih sempat bertemu nanti, semoga saat itu Sahabatku
semua yang baik sedang berada dalam kondisi yang dimuliakan dan tidak
pernah merasa jenuh meniti jalan kebaikan, sehingga termasuk dalam
orang-orang yang pilihan.
Kesempatan ini saya akan
berdialektika sekaligus meluangkan waktu sejenak di tengah pelbagai
kesibukan masing-masing untuk berkontemplasi terhadap adanya moment
religius tahun baru hijriyah atau dalam kebudayaan jawa lebih akrab
disebut "Suronan". Sebagian orang barangkali kurang peduli ataupun belum
mengetahui esensi dibalik tahun baru hijryah yang memiliki berbagai
makna tersebut. Bahkan realita yang sering kali tercuat adalah moment
ini hanya diasumsikan sebagai rutinitas tahunan belaka yang tak
bermakna. Dan lebih ironisnya lagi ialah tak jarang dari kita yang
memanfaatkanya untuk berlomba-lomba bersedekah ataupun melakukan
ritual-ritual keagamaan. Namun, sesaat setelah moment tersebut usai,
semua itu hilang bak ditelan bumi. Dengan kata lain mungkin lebih tepat disebut sebagai "keshalehan ritual dan sosial yang kondisional".
Padahal menurut Ragib al-Isfahani (w 502 H/1108 M) yakni seorang
pakar leksikografi Alquran, menjelaskan, hijryah setidaknya mengandung
dua makna. Pertama, secara fisik, adalah seperti hijrah Rasul dari makah
ke madinah. Selanjutnya yang Kedua, non fisik atau mental, yakni
meninggalkan dominasi syahwat, segala bentuk akhlak tercela dan dosa
menuju kebaikan yang diridhai Tuhan (QS.29:26), opini surya senin, 11 desember 2012.
Dari nukilan di atas tertuang jelas sekali bahwa makna tersirat
atau hakikat dibalik peringatan ini utamanya lebih merujuk pada
peningkatan kualitas diri, yang selanjutnya barulah diaplikasikan pada
tatanan sosial secara berkelanjutan, dan tentu saja bukan kondisional.
Sebab percuma saja jika pencapaian kualitas diri sudah terpenuhi tapi
tak diiringi dengan realisasi. Apalagi jika penekananya hanya pada
kesalehan ritual yang kondisional, sama halnya dengan melukis di atas
air. Pada akhirnya esensi dari momentum ini akan tersentuh bahkan
mendarah daging manakala setiap pribadi telah mampu mencapai tataran
berarti seperti yang disebutkan di atas tadi.
Disisi lain bagi masyrakat jawa moment ini tak hanya diperingati
seperti yang telah disebutkan di atas namun lebih dari itu juga diiringi
dengan adanya pelestarian tradisi maupun budaya. Seperti yang telah
kita kenal tradisi genduri, larung sesajen ke laut atau sedekah bumi
dll. Bagi orang yang memandang melaui perspektif Theologi atau Keagamaan
mungkin akan mengatakan ini merupakan amalan-amalan kesyirikan. Namun
jika kita mau melakukan Tranformasi paradigma berfikir yang lebih
komprehensif dalam memandang dan menyikapi suatu hal, pastinya tak akan
begitu saja mengatakan demikian. Dengan kata lain, menelaahnya melalui
berbagai sudut pandang. Dan untuk mampu seperti itu dengan terpaksa kita
harus berani melepas sejenak embel-embel Theologi ataupun Keagamaan.
Sebab jika kita masih terikat oleh label keagamaan maka kita tak akan
mampu menyelami sesuatu secara mendalam, itu dikarenakan kita tak bisa
berfikir dengan "bebas".
Selanjutnya bagi kita yang kebetulan berada dalam ruang lingkup
jawa tentunya tidak terlepas dengan budaya-budaya yang telah lama tumbuh
dan berkembang di tengah masyarakat. Seperti salah satunya Suronan itu
tadi. Bagi mereka yang telah melestarikan tradisi Suronan pasti tidak
terima jika mendengar ada yang mengatakan Suronan harus diobliterasi
(tiadakan), sebab mereka mengaggap itu merupakan warisan nenek moyang
yang di dalamnya terkandung kearifan nilai-nilai budaya yang harus
dilestarikan olehnya dan anak cucu kelak. Oleh karenya mereka sangat
menjunjung tinggi adanya tradisi itu. Akan tetapi mungkin sama sekali
tidak dihiraukan jika ada yang mengatakan, itu merupakan syirik. Sebab
"syirik" mempunyai makna yang luas, tinggal dari sudut pandang mana kita
menelaahnya. Dan dengan adanya pengeklaiman tersebut sedikit pun tak
mengurangi nilai-nilai yang terkandung. Disamping itu tradisi-tradisi
jawa seperti genduri, suronan ataupun lain sebagainya pada hakekatnya
telah mengalami alkulturasi antara islam dengan budaya yang bersangkutan
itu sendiri. Serta dapat dimaknai sebagai bentuk rasa syukur atau lebih
akrab disebut sedekah bumi. Sehingga suatu kesalahan sosial jika saat
ini masih ada yang berpandangan sempit seperti itu dan dengan seenaknya
sendiri mengatakan ini syirik, itu syirik. Kok kayak Tuhan saja.
Oleh karena itu perlu adanya pandangan yang inklusif, khususnya
bagi mereka yang masih senang menganggap dirinya paling benar dan
umumnya bagi kita yang cinta akan keragaman. Sebab tanpa adanya hal
tersebut tidak menutup kemungkinan satu persatu dari kebudayaan kita
akan tergerus serta tertimbun oleh debu-debu yang selanjutnya menjadi
fosil. Sekarang tinggal kita memilih yang mana, tetap mengusung pola
fikir ortodoks yang implikasinya hanya melahirkan kemadharatan. Ataukah
memilih menjadi orang yang kelebihanya adalah mampu memaknai atas
pelbagai hal sebagai bentuk Kemahakuasan Tuhan. Terserah anda memilih
yang mana, sebab hidup memang sebuah pilihan dan tak satu pun dari kita
yang dapat mengelak dari keharusan untuk memilih.
Saya pribadi
sadar bahwa tulisan ini tidaklah cukup untuk menjadi bahan refrensi.
Akan tetapi, setidaknya tulisan ini cukup sebagai bahan renungan dan
mengantarkan kita pada tindakan yang lebih layak. Serta menjadikan kita
pribadi-pribadi yang mampu menyikapi setiap persoalan yang ada secara
tepat. Sehingga endingnya dapat meningkatkan kualitas diri sampai
tataran yang benar-benar berarti. Semoga.
( jiwa yang sedang berupaya menjadi berarti )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar