Oleh: Larasati Liris
Image Source: Medcom.id
Kesendirian, ketenangan maupun kesunyian memang situasi dan kondisi yang seringkali menjadi dambaan banyak orang. Karena dari situlah seseorang dapat berfikir dengan jernih atau merenung sejenak atas berbagai hal yang telah atau akan dialaminya. Apalagi jika dia adalah tergolong orang yang tidak bisa berkonsentrasi ketika situasi disekitarnya tidak kondusif, pastinya kesendirian dan ketenangan itulah yang selalu menjadi pengharapanya. Akan tetapi beda lagi perkaranya jika dalam kesendirian ternyata justru mengakibatkan seseorang kembali mengingat masa-masa yang "kelam". Saat dimana ia hanya terkurung oleh kesenangan atau kenikmatan duniawi yang meninabobokannya. Dan cenderung menihilkan segala sesuatu yang ada disekitarnya. Memang masa lalu yang tak terang atau sedikit redup tidak selalu menjadi ukiran sejarah yang tak patut untuk diingat. Karena bisa saja setelah mengambil hikmah dari serentetan perjalanan masa lalu itu, seseorang akan bangun, bangkit atau keluar dari belenggu kotak pandora hitam tersebut.
Namun sekali lagi, hal demikian tidaklah selalu menyertai setiap pribadi. Atau okelah kita anggap saja banyak orang mampu bersikap lebih baik setelah mengaca dari masa lalunya. Singkatnya, kehidupanya sudah sedikit berarti ketimbang hari kemarin. Tapi diakui atau tidak disisi lain masa lalunya itu kadangkala akan kembali menyemburat tatkala ia sedang dalam kondisi sendiri atau tidak sedang memikirkan sesuatu yang mungkin lumayan memusingkan. Perasaan yang timbul dari hati, yang banyak orang namai dengan istilah "cinta". Banyak orang yang mengelu-elukanya dan tidak sedikit pula yang tersiksa olehnya. Hambar memang makna integritasnya, sehambar kandungan makna kasih sayang itu sendiri dalam konteks percintaan remaja saat ini. Sehingga tak aneh jika sampai sekarang masih banyak orang yang belum mampu menelaah secara hakiki atas apa yang mereka alami dan rasai itu.
Tatkala kita sudah beranjak dan nampak lebih baik dengan jubah ketegaran, suatu ketika disaat kesendirian, kita kembali dijerat oleh perasaan yang melemahkan dan menggerogoti setiap pundi-pundi keberartian diri. Disatu sisi kita takut untuk merajut kembali, tapi disisi lain sangat mengharap momen itu singgah lagi. Ambivalensi, iya itulah sebutan tepatnya. Atau sering juga disebut sebuah pertentangan perasaan. Antara penolakan dan pengharapan, bak dua sisi mata pisau yang berbeda tapi juga sama. Lalu bagaimanakah kita mengatasi perasaan itu jika suatu ketika datang menyerbu? Meskipun kadangkala juga dibuatnya chaos (kalangkabut).
Sebab saat saya mengalami pergolatan perasaan itu saya selalu merasa bahwa ternyata diri ini memang tak ada apa-apanya. Sekuat, setegar, seangkuh ataupun se-idealis apapun seseorang pasti punya sisi kelemahan jika sudah berurusan dengan hati. Sehingga saya maknai sesuatu yang sulit dimaknai itu sebagai perihal yang manusiawi. Sebagai bentuk lelucon yang dibuat oleh segelintir mahkluk-mahkluk hipokrit. Dan tentu saja juga merupakan penggalan sandiwara yang dibuat Tuhan untuk kita. Jadi biarkan saja itu berlalu sebagaimana adanya, toh memory tersebut juga akan tertimbun lagi ketika kita sudah kembali beraktivitas atau memikirkan hal lain yang lebih penting. Jadi singkatnya, kondisi semacam itu hanya bersifat kondisional.
Jadi jika sebatas kata memang cinta itu buta, tapi jika sebagai fakta, dimana letak kebutaanya? Bukankah itu kesadaran yang nyata dan yang nyata itu pasti jelas ada. Atau mungkin buta yang dimaksud adalah cenderung menunjukkan hal lain disekitarnya kah? Jika memang seperti itu, berarti ia terjebak dalam definisi cinta sebagai kata dan bukan fakta.
Selanjutnya, ada yang menganggap telah dibutakan oleh cinta, (ah bosan saya sebenarnya menyebut kata itu-itu lagi, adakah nama lain selain itu?). Coba pikir, apakah mungkin sebuah kata bisa "membutakan" seseorang atau bahkan fakta sekalipun. Jika yang namanya fakta itu adalah sesuatu yang telah kita alami, rasakan dan pahami. Lantas kenapa kita masih "dibutakan" ?? Bukankah itu adalah kenyataan yang memang harus kita hadapi dan lalui, terlepas kita kehendaki atau tidak. Jadi kita sendirilah yang sebenarnya "membutakan" diri, tidak mau menerima kenyataan, akibat kekecewaan atau mungkin letupan kegembiraan yang berlebihan. Inilah kekeliruan pemaknaan yang sudah terlanjur menjamur dan tidak disadari atau berupaya menyadarinya. Dan kiranya sampai disitu saja telaah saya atas istilah menyebalkan dan sulit dicerna itu. Sebab sama sekali saya bukan penafsir cinta atau pujangga yang bisa seindah mungkin mendeskripsikanya.
Terus terang saya bingung mau mengakhiri celoteh yang tak ada intinya ini Karena saat menulis ini pun sebenarnya saya juga sedang mengalami ambivalensi. Namun tetap saja saya harus terpaksa mengakhirinya. Kalau boleh saya menyimpulkan atas curhatan ini bahwa tidak harus selalu masa lalu itu kita hakimi dan penjarakan dalam jeruji yang tak berarti atau seperti sekumpulan onggokan sampah yang tak berguna. Meski menyakitkan, buruk, menyedihkan, mengecewakan atau apalah, yang jelas itu semua tetap bagian catatan dari lembaran sejarah kehidupan kita. Kenapa kita harus takut, atau tidak mau mengingatnya lagi jika pada hakikatnya kita sudah mampu melalui. Bahkan suatu ketika kita memang perlu mengingatnya kembali sebagai ukuran atas tindakan kita selama ini dan bisa juga sebagai motivasi diri. Bukankah masa depanpun pada akhirnya juga akan menjadi sejarah yang terlewati. Menjadi saksi bisu yang tak bisa dihapus dan terberangus. Dan sebagai penutup saya teringat pada kata-kata dalam salah satu novel karya Herlinatiens bahwa "Selama ini kita telah disibukan oleh pertanyaan-pertanyaan yang kita buat sendiri. Tentang harga diri dan makna kemurnian nilai itu sendiri. Dan tentang masih adakah sesuatu yang bisa disertai, dihormati atau diharapi".
Terimakasih insomnia (malaikat malamku), karena engkaulah desakan pikiran dan luapan perasaan ini dapat tertorehkan.
Rabu, 03 Juli 2024.
Lady Antebellum - Need You Now